TEMPO.CO, Jakarta: Berdiri di sudut ring pelatih tinju nasional Adi Suandana memukul-mukul bel yang terbuat dari logam besi. Ketika Adi memukul bel dengan gerakan yang cepat, 10 petinju yang berdiri melingkar melepaskan pukulan straight. Jenis pukulan berubah menjadi jab dan upper cut saat bunyi bel melambat. Selama sekitar 15 menit bel terus berbunyi tanpa henti. Wajah para petinju pun langsung dipenuhi oleh bulir-bulir keringat.
Pemandangan itu seolah mewakili slogan dari spanduk yang menempel di dinding kantor Pengurus Pusat Persatuan Tinju Amatir Indonesia di komplek Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. "Lebih baik mandi keringat dalam latihan daripada mandi darah di pertandingan." Begitu bunyi spanduk berukuran 2 x 4 meter.
Beatrichx Suguro, salah satu petinju putri, mengamini kalau olahraga tinju identik dengan kekerasan. Oleh sebab itu, masa persiapan dan latihan amat penting dijalani. "Tinju memang olahraga keras tapi itu hanya berlaku di atas ring saja," kata dia, Rabu lalu. Kendati harus saling jual beli pukulan demi meraih poin,namun olahraga tinju amat memperhatikan keselamatan atletnya. Faktor itulah yang membuat Beatrichx nyaman ketika sedang menjalani pertandingan.
Ada kalanya, Beatrichx merasa belum bertanding jika tidak mendapatkan luka lebam di wajah. Sambil tersenyum ia mengatakan, "Kalau muka tidak bengkak gak asyik. Itu namanya bukan petinju."
Dalam pertandingan tinju amatir, petinju putri masih menggunakan pelindung kepala. Berbeda dengan petinju putra di mana aturan memakai pelindung kepala sudah ditinggalkan. Beatrichx menyebutkan meski masih mengenakan helm, potensi wajah mengalami luka lebam tetap ada.
Selanjutnya: Prestasi Sudah Menyapa